Rabu, 16 Juli 2014

Dasar-Dasar Transfusi Darah


Risiko Transfusi

Sebuah penelitian melaporkan bahwa reaksi transfusi yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% resipien (penerima transfusi), dimana sebagian besar (55%) berupa demam. Gejala lain adalah menggigil tanpa demam sebanyak 14%, reaksi alergi (terutama urtikaria/biduran) 20%, hepatitis serum positif 6%, reaksi hemolitik 4%, dan overload sirkulasi 1%.
·         Demam. Peningkatan suhu dapat disebabkan oleh antibody leukosit, antibody trombosit, atau senyawa pirogen. Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji cocok silang antara leukosit donor dengan serum resipien pada pasien yang akan mendapat transfuse leukosit.
·         Reaksi Alergi. Renjatan anafilaktik terjadi 1 pada 20.000 transfusi. Reaksi alergi ringan yang menyerupai urtikaria/biduran timbul pada 3% transfuse. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat interaksi antara IgA pada darah donor dengan Anti- IgA spesifik pada plasma resipien.
·         Reaksi Hemolitik/pecahnya komponen darah. Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah merah setelah transfusi akibat darah yang inkompatibel/berlawanan. Reaksi hemolitik jug adapt terjadi akibat transfuse eritrosit yang rusak akibat paparan dektrose 5%, injeksi air ke dalam sirkulasi, transfusi darah yang lisis, transfusi darah dengan pemanasan berlebihan, transfusi darah beku, transfusi dengan darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan tekanan tinggi. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin memiliki struktur antigen eritrosit/sel darah merah  yang berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibody pada tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara antigen eritrosit dan antibody plasma, baik yang spesifik maupun nonspesifik, menyebabkan antibody merusak eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian.

·         Penularan Penyakit. Selain masalah reaksi antigen-antibodi, maka transfusi yang aman juga harus memperhatikan kemungkinan penularan penyakit yang dapat menular melalui darah, seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan virus lainnya. Bakteri juga dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga dapat menyebabkan infeksi dan terjadinya sepsis setelah transfusi. Penularan HIV melalui transfuse darah pertama kali dilaporkan pada tahun 1982. Kebijakan untuk menyaring orang dengan perilaku risiko tinggi HIV untuk tidak mendonorkan darahnya serta kemudian dilakukannya tes penyaring untuk semua sampel darah donor, diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya penularan HIV melalui transfuse darah.
·         Cedera Akut Paru. Risiko transfusi yang lain adalah cedera paru akut yang berhubungan dengan transfuse. Kondisi ini adalah suatu diagnosis klinik berupa manifestasi hipoksemia akut dan edema pulmoner bilateral yang terjadi dalam 6 jam setelah transfusi.

Indikasi Transfusi
Oleh karena transfusi mempunyai risiko yang cukup besar, maka pertimbangan risiko dan manfaat benar-benar harus dilakukan dengan cermat sebelum memutuskan pemberian transfusi. Boleh melakukan transfusi apabila kadar hemoglobin di bawah 7,0 atau 8,0 g/dl, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis.  Kadar hemoglobin 8,0 g/dl adalah ambang batas transfusi untuk pasien yang dioperasi yang tidak memiliki factor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan risiko iskemia, ambang batasnya dapat dinaikkan sampai 10 g/dl.

DONASI DARAH
Seleksi Donor Darah
Donor darah harus memenuhi beberapa criteria untuk dapat mendonorkan darahnya, yaitu keadaan umum baik, usia 17-65 tahun, berat badan minimal 50 kg, tidak demam, frekuensi dan irama denyut nadi normal, tekanan darah 100-130/70-90 mmhg, dan tidak ada lesi di kulit yang berat.
Persyaratan lain adalah menjadi donor terakhir minimal 8 minggu yang lalu, tidak hamil, tidak menderita TBC aktif, tidak menderita asma bronchial, 6 bulan setelah operasi besar, luka operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 1 minggu setelah cabut gigi atau pembedahan mulut, tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan abnormal, tidak menderita penyakit infeksi yang menular melalui darah. (Demi rasa kemanusiaan diharapkan pendonor jujur dengan riwayat penyakitnya).

Imunisasi dan Vaksinasi
Calon donor yang baru saja mendapat imunisasi atau vaksinasi dapat diterima sebagai donor jika tidak ada gejala setelah tindakan tersebut. Jika yang didapat vaksin dengan vaksin virus hidup yang dilemahkan, maka calon donor yang tidak menunjukkan gejala apaun dapat diterima dengan batasan waktu sebagai berikut: 1). Cacar air: dua minggu setelah timbul reaksi imun atau setelah bekas suntikan hilang. 2).  Campak, gondong, demam kuning, Polio: dua minggu setelah imunisasi terakhir. 3). Campak jerman: dua bulan setelah imunisasi terakhir

Malaria
Calon donor  yang baru bepergian ke daerah endemis dapat diterima menjadi donor 6 bulan setelah kembali dan terbukti tidak pernah menderita malaria dapat diterima setelah 3 tahun penyakitnya asimptomatik atau obat dihentikan.

Pengambilan dan Pengumpulan Darah
Informasi untuk Donor. Semua calon donor harus mendapat informed consent beserta penjelasan mengenai risiko transfusi. Donor harus dijelaskan bahwa darah akan diuji terhadap penyakit infeksi seperti  hepatitis, sifilis, dan HIV.

Reaksi selama dan sesudah donasi. Reaksi pada donor jarang terjadi. Reaksi yang dapat terjadi adalah sinkop (pusing memutar seperti mau pingsan), rasa lemas, frekuensi nafas meningkat, pusing, pucat, dan mual.  Reaksi yang jarang terjadi adalah kejang, hilang kesadaran. Masalah pada jantung seperti serangan jantung dapat terjadi, meskipun sangat jarang (1 dari 10 juta pendonor).

Uji Terhadap Darah Donor. Pengujian yang dilakukan pada darah donor meliputi: a). penetapan golongan darah berdasarkan ABO, b). penetapan golongan darah berdasarkan Rhesus, c). Uji terhadap antibody yang tidak diharapkan dan d). uji terhadap penyakit infeksi

Tidak ada komentar: